February 22, 2010

Gunakan Masa Muda, Sehat, Kesempatan, Kaya serta Hidupmu Untuk Beribadah dan Beramal Sholeh sebelum kamu Tua, Sakit, Sibuk, Miskin, dan Mati tanpa Bekal yang cukup


PROBLEM SOLVING MATHEMATICS
Belajar lewat Melakukan bukan Menghafalkan

H. Mutadi, S.Pd., M.Ed.

Pendahuluan

Pengajaran matematika selama ini sebagaimana yang digambarkan oleh Griffith dan Clyne (1994, h. 17) cenderung dikembangkan melalui pola pengajaran teori – contoh – latihan. Pola ini perlu ditinjau kembali sebab, pertama, sebagaimana yang dinyatakan oleh Groves (1989, h. 11) pengajaran matematika yang didasarkan pada “teori – contoh – latihan” hanya menyajikan suatu pandangan yang sempit tentang matematika, dan tidak pernah menyarankan bahwa mathematics is something done by people and it can be used in our real life. Alasan yang lain adalah, dari pandangan para constructivist, sebagaimana Burton (1992, h. 16) katakan bahwa proses belajar mengajar harus memungkinkan murid untuk mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri tentang matematika secara mendalam yang didasarkan pada apa yang mereka telah ketahui (previous knowledge) dari pada hanya sekedar melalui cara penyampaian yang formal.

Problem Solving Sebuah Alternatif

Istilah problem solving ada pada berbagai profesi dan disiplin ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda. Problem solving dalam pengajaran matematika memiliki arti yang khusus (Branca, 1980, h. 3). ‘Problem solving dalam matematika adalah proses dimana seorang siswa atau kelompok siswa (cooperative group) menerima tantangan yang berhubungan dengan persoalan matematika dimana penyelesaiannya dan caranya tidak langsung bisa ditentukan dengan mudah dan penyelesaiannya memerlukan ide matematika’ (Mathematics Course Development Support Material 1989: Dikutip di Blane dan Evans, 1989, h. 367). Dalam problem solving, biasanya, permasalahan-permasalahan tidak tersajikan dalam peristilahan matematika. Permasalahan yang digunakan dapat diangkat dari permasalahan kehidupan nyata (real life situation) yang pemecahannya memerlukan ide matematika sebagai sebuah alat (tool).

Problem Solving dalam Pengajaran Kelas

Ada sejumlah alasan kuat mengapa problem solving perlu ditekankan sebagai aspek penting dan sangat berarti dalam menciptakan pengajaran matematika yang efektif. Alasan pertama adalah harapan untuk membuat matematika lebih dapat diterapkan (more applicable) dalam kehidupan murid diluar pengajaran kelas atau dalam situasi baru yang belum familiar (Penglley, 1989, h. 10). Alasan yang kedua adalah problem solving memberikan kesempatan (opportunities) dan dapat mendorong siswa berdiskusi tentang dengan siswa yang lainnya, yaitu pada proses menemukan jawab dari permasalahan (Gervasoni, 1998, h. 23). Alasan lebih lanjut mengapa pendekatan problem solving sangat berharga (valuable) adalah karena problem solving dapat mendorong murid untuk menyusun teorinya sendiri (their own theories), mengujinya, menguji teori temannya, membuangnya jika teori tersebut tidak konsisten dan mencoba yang lainya (NCTM 1989: Dikutip di Taplin, 2001).

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan

Dalam upaya untuk mengembangakan strategi pengajaran problem solving, ada beberapa aspek yang perlu difikirkan. Sebagaimana Pengelly (1989, h. 2) menyatakan bahwa ketika mengembangkan problem solving skills, terutama dalam hal mendesain permasalahan, guru perlu memperhatikan latar belakang matematika anak. Disamping, strategi pembelajaran problem solving perlu melakukan penyeleksian persoalan yang layak (appropiate) untuk muridnya. Permasalahan yang dipilih harus menantang (challenging), terbuka untuk berbagai cara penyelesaian (variety of method of solution), dan nampak sedikit matematikanya (low in mathematical content) (Hodgson, 1989, h. 350).
Berkaitan dengan hal ini, Thompson (1989, h. 275) menyarankan bahwa perlu menyeimbangkan tingkat kesulitan. Jika problem terlalu sulit dan murid murid tidak mampu memecahkan maka mereka mungkin akan menjadi putus asa (disillusioned) dan motivasinya menjadi melemah (waiver). Jika permasalahan yang dihadapi oleh murid terlalu mudah, menyebabkan mereka tidak tertantang dan sekali lagi mereka akan kehilangan motivasi. Sebagai tambahan, Schoenfeld (dikutip di Taplin, diakses: 5 Maret 2001) juga menyarankan bahwa permasalahan yang baik haruslah sebuah persoalan yang dapat diperluas untuk dieksplorasi secara matematik (mathematical explorations) dan digeneralisasikan.

Implementasi problem solving

Dalam diskusi kemungkinan implementasi matematika problem solving, saya yakin bahwa sekurang-kurangnya ada tiga faktor penting yang harus difikirkan. Pertama, merubah peranan guru (changing the role of teacher). Kedua, merubah susunan kelas (changing classroom management) dan, ketiga, menganalisa topik dalam kurikulum matematika Indonesia yang mungkin dapat mengakomodasi dan lebih efektif jika menggunakan pendekatan problem solving.
Dalam hal merubah peran guru, perlu disadari bahwa strategi pembelajaran problem solving telah merubah gaya murid belajar (students’ style learning) dari sebagai murid pasif belajar menjadi murid yang aktif belajar (construct their own concepts). Sebagai konsekuensi menuntut berubahnya peran guru. Dalam hal berubahnya peran guru, Groves (1990, h. 11) menyatakan bahwa peranan guru adalah sesuatu yang crusial, guru perlu benar-benar terlibat dalam menstimulasi murid untuk aktif berfikir (stimulating children to think), menjaga semangat belajar siswa (maintaining interest), menjaga rasa percaya anak (confidence) dan mengelolanya (organizing) jika diperlukan. Lebih jauh lagi, Stacey and Groves (1985, h. 5) menambahkan bahwa peranan guru adalah:

1. Membawa murid pada suasana siap menerima tantangan atau permasalahan, sebab sebuah masalah bukanlah masalah sampai murid menyadari dan ingin memecahkannya.
2. Membangun atmosper kelas yang mendukung, dimana murid disiapkan untuk memecahkan permasalahan yang asing dan tidak merasa tertekan ketika mereka menghadapi kebuntuan (stuck).
3. Mempersilahkan anak untuk mengikuti cara mereka dalam menemukan solusi dan membantu mereka ketika memerlukan, tanpa memberikan jawaban.

Merubah susunan tempat duduk di kelas. Yang maksudkan di sini adalah bagaimana mengorganisasi murid sesuai dengan aktivitas yang ada pada problem solving. Berdasarkan pengalaman pada pengajaran matematika di sekolah, murid-murid di kebanyakan sekolah duduk secara berbaris (sit in a row) dan hal itu kemungkinan membuat sulit untuk melakukan diskusi dengan teman yang lainnya dalam mengeksplorasi gagasan dan konsep yang tersembunyi di balik (beyond) permasalahan yang diberikan — dan ini sering disebut sebagai salah satu karakteristik (key feature) dari problem solving. Hodgson (1989, h. 350) menyarankan bahwa kelompok kerja (group work) adalah sesuatu yang esensi dalam pengajaran problem solving. Lebih lanjut, Burns (1990, h. 25) menyatakan bahwa belajar bersama dalam group kecil (small group) memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan konsep dibanding dengan apabila murid diskusi kelas besar (class discussion). Keuntungan lain dari grup kecil ini, dintaranya murid memiliki kesempatan untuk bisa berbicara banyak, lebih nyaman untuk ambil resiko (taking the risks) dalam menguji coba pemikirannya selama aktivitas problem solving. Oleh karena itu, perlu merubah posisi tempat duduk siswa agar memungkinkan mereka aktif berpartisipasi dalam diskusi.

Kesulitan yang mungkin dihadapi

Beberapa kesulitan yang berarti mungkin ditemukan ketika mengasimilasikan problem solving matematika ke dalam praktek pengajaran di kelas.

  1. Kurangnya pengetahuan dan keahlian guru dalam menerapkan problem solving (teachers lack of the problem solving and modelling skills).
  2. Isi dari kurikulum sangat padat dan tidak ada celah untuk problem solving (the curriculum content is very full and there is no room for problem solving).
  3. Sistem pengujian (assessment system) masih disentralkan dan ini tidak relevan dengan gagasan problem solving dikarenakan jenis tesnya cenderung dan dominan berbentuk pilihan ganda (multiple choice form). Jenis tes ini tidak memberikan kesempatan pada anak untuk berfikir sebagaimana yang mereka lakukan pada proses problem solving.
  4. Besarnya jumlah siswa (the large number of students) dalam setiap kelas juga merupakan salah satu hambatan yang cukup berarti. Karena ini bisa menyebabkan sulitnya bagi guru untuk berinteraksi dengan muridnya ketika problem solving matematika diimplementasikan.
  5. Perlu waktu yang lebih (need more time) baik dalam pencarian atau pendesainan problem (sebab setiap problem perlu disusun dengan hati-hati untuk mencapai hasil belajar siswa) maupun berlangsungnya aktivitas problem solving (problem solving progress) di kelas.

Dari penjelasan tersebut di atas, memang tidak ada keraguan bahwa ada sejumlah kesulitan dalam asimilasi problem solving ke dalam pengajaran matematika, tapi keuntungan yang ada jauh melebihi dari pada hambatan yang ditemukan.

Kesimpulan

Dari diskusi tersebut di atas, dapat dirangkum bahwa problem solving matematika memiliki sejumlah keuntungan (benefits). Strategi problem solving tidak hanya mampu mengubah gaya belajar anak dari sebagai pelajar yang pasif menjadi pelajar yang aktif dalam mengkonstruksi konsep mereka, tetapi juga, membuat pembelajaran matematika lebih berarti (more meaningful), masuk akal (make sense), menantang dan menyenangkan (challenge and fun), cocok buat siswa (relevant for students), dan memberikan cara berfikir yang fleksibel (thinking flexibility). Karenanya problem solving matematika dapat dipandang sebagai suatu pendekatan yang penting untuk meningkatkan pemahaman matematika anak.

REFERENSI

Blane, D. and Evans, M. 1989, ‘V.C.E. Problem Solving and Modelling – Starting Points’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 367-371.

Branca, N. A., 1980, ‘Problem Solving as a Goal, Process, and Basic Skills’, in S. Krulik and R. E. Reys (eds.), Problem Solving in School Mathematics, National Council of Teachers of Mathematics, Virginia, pp. 3-8.

Burns, M. 1990, ‘The Math Solution’, in N. Davidson (Ed.), Cooperative Learning in mathematics: A Handbook for Teachers, Addison-Wesley, California, pp. 21-46.

Burton, L. 1992, ‘Working Together’, in Mathematics Teaching, 140, September 1992, pp. 16–19.

Dirjen Binbaga Depag RI, 1993, Garis-garis Besar Program Pengajaran MTs: Matematika (Cetakan pertama), Dirjen Binbaga Depag RI, Jakarta.

Galbraith, P. L. and Haines, C. R. 1997, ‘Some Mathematical Characteristics of Students Entering Applied Mathematics Degree Courses’, in S. K. Houston, et al. (eds.), Teaching and Learning Mathematical Modelling: Innovation, Investigation and Application, Albions Publishing, Chichester, pp. 77–92.

Griffiths, R. and Clyne, M. 1994, Maths Makes Sense: Teaching and Learning in Context, Eleanor Curtain, Armadale.

Gervasoni, A. 1998, ‘Using Problem Solving to Enhance Numeracy Learning’, in Prime Number, 13(2), June 1998, pp. 21–23.

Groves, S. and Stacey, K. 1990, ‘Problem Solving – A Way of Linking Mathematics to Young Children’s Reality’, in Australian Journal of Early Childhood, 15(1), March 1990, pp. 5–11.

Groves, S. 1989, ‘Problem-solving and Modelling – Years 7 to 12’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 10–17.

Groves, S. 1999, ‘An Introduction to Mathematical Modelling’, in Deakin University, Problem Solving and Modelling: Study Guide, Faculty of Education, Geelong, pp. 33-47.

Hodgson, B. 1989, ‘Problem Solving and Modelling Activities for the V.C.E’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 350–357.

Lamon, S. J. 1997, ‘Mathematical Modelling and the Way the Mind Works’, in S. K. Houston, et al. (eds.), Teaching and Learning Mathematical Modelling: Innovation, Investigation and Application, Albions Publishing, Chichester, pp. 23–37.

Pengelly, H. 1989, ‘Becoming Mathematical Problem Solvers’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 1-5.

Stacey, K. and Groves, S. 1985, Strategies for Problem Solving: Lesson Plans for Developing Mathematical Thinking, Latitude Publications, Glen Waverley-Victoria.

Taplin, M., 2001, ‘Mathematics Through Problem Solving’, available in:
http://www.mathgoodies.com/articles/problem_solving.shtm
.
Thompson, L. 1989, ‘Problem Solving’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 275– 84.

Pembelajaran Problem Solving Matematika


MATHEMATICS IN THE REAL WORLD

H. Mutadi, S.Pd., M.Ed.

Pendahuluan

Dua tantangan yang selalu dihadapi oleh guru adalah, pertama mampu memberikan dorongan kepada muridnya agar tertarik dalam pembelajaran mereka dan membuat mereka merasa bahwa apa yang dipelajarinya itu benar-benar sangat berguna (worthwhile). Dan yang kedua, adalah bagaimana mereka memperoleh gagasan (ideas), konsep(concept) dan keahlian (skills) melalui proses pembelajaran yang benar-benar bermakna (Floyd, et al., 1972, h. 1). Untuk menjawab semua tantangan tersebut Freudental (1973: dikutip di Reusser & Stebler, 1977) menyarankan bahwa pembelajaran matematika hendaknya diubah ke dalam konteks yang akrab dengan kehidupan anak (structuring of reality which is familiar with students daily life). Hal serupa  juga diketengahkan oleh Burton (di Mathematics Teacher 140, 1993) bahwa melalui belajar matematika di dunia nyata (the real world) diharapkan murid akan merasa lebih akrab dan senang dengan materi yang dipelajarinya serta mampu memahami (make sense) materi itu melalui aktivitasnya.

Dengan membawa dunia nyata dalam pengajaran matematika diharapkan guru tidak memaksa muridnya untuk selalu mengikuti cara berfikirnya dan cara yang ada dalam buku teks (the teacher does not push students to follow their thinking and textbook).  Oleh karena  itu proses pembelajaran matematika yang baik menurut Burton (di Mathematics Teacher 140, 1993) dan Davis et al. (1991; di Mathematics Teacher 137, 1991) adalah mampu mendorong murid untuk menciptakan dan membangun pemahamannya sendiri (construct and develop their own understanding).

Pengajaran di kelas membutuhkan konteks

Sebagaimana disarankan oleh Lovitt dan Clarke (1980: dikutip di Smith, 2000) bahwa guru matematika perlu melakukan langkah inovatif (innovative ways) dalam mengajarkan matematika. Guru perlu menyajikan model pengajaran matematika yang melibatkan aktivitas fisik (physically involved), menggunakan teknologi informasi, mendorong murid untuk melakukan penulisan matematika (writing about the mathematics).

Adapun langkah inovatif yang diarahkan untuk terciptanya pembelajaran matematika dalam dunia nyata tersebut, dapat dilihat pada bentuk-bentuk pembelajaran berikut ini:

  1. Menggunakan tema (theme) untuk materi matematikanya (use a theme as a focus for mathematics contents)
  2. Menggunakan video (making use of video snippets)
  3. Menghubungkan matematika dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup (linking mathematics to social and environment issues)
  4. Membawa pengajaran matematika di luar kelas (taking mathematics outside the classroom)
  5. Pengajaran matematika dengan menggunakan spreadsheet
  6. Pemodelan matematika (mathematics modelling)
  7. Investigasi penerapan matematika dalam dunia kerja (investigating mathematics application in the workplace)

(Smith, 2000, h. 3)

Peran guru (the role of teacher)

Dalam pembelajaran matematika dunia nyata lebih menekankan pada keaktifan siswa, oleh karenanya akan terjadi pergeseran peran guru dari ‘guru akting di depan kelas dan murid menonton’ ke ‘siswa aktif bekerja untuk membangun pengetahuan baru’. Oleh karenanya, tugas guru dalam pembelajaran matematika dunia nyata lebih terfokus pada membantu siswa dalam menciptakan dan membangun pengetahuan barunya (the role of teachers is as a fellow learner).

Keuntungan pembelajaran matematika dunia nyata

Beberapa keuntungan dalam pembelajaran matematika dunia nyata diantaranya:

  1. Pembelajaran matematika dunia nyata lebih memberikan makna pada siswa karena dikaitkan dengan kehidupan dunia nyata.  Konteks dunia nyata yang digunakan untuk sumber pembelajaran dapat berperan sebagai penguat kesan ( a memory jogger).
  2. Siswa lebih senang dan lebih termotivasi.
  3. Aplikasi mata pelajaran benar-benar terdemonstrasikan

Penutup

Pembelajaran matematika di dunia nyata akan lebih dapat, pertama,  meningkatkan motivasi siswa, sebab  model pembelajaran ini berusaha menghadirkan matematika sebagai sesuatu yang akrab dengan kehidupan anak. Kedua, pembelajaran ini akan lebih bermakna (meaningful) dan sekaligus memberikan pemahan yang sebenarnya (real understanding) pada diri siswa.

REFERENSI

Smith, R., 2000, Applying Mathematics to the Real World (Study Guide), Deakin University, Melbourne.

Burton, L., 1993, ‘Working Together’, in Mathematics Teacher 140, September 1993.

Reusser, K and Stebbler, R., 1997, ‘Every Word Problem has a Solution: The Social Rationality of Mathematics Modelling in School’, in Learning and Instruction, Elsevier Science, Ltd., Great Britain, Vol. 7 No. 4, 1997, pp. 309-327.

Floyd, P. J. et al., 1972, Mathematics from Outdoors, Chatto & Windus (Educational)
Ltd., London.

Davis, R, Maher, C & Nodding, N (eds.), 1991, ‘Constructivism View on the Teaching and Learning Mathematics’, in Mathematics Teacher 137, December 1991.


PORTOFOLIO ASSESSMENT
Sebuah Alternatif Evaluasi pada Pelajaran Matematika

H. Mutadi, S.Pd., M.Ed.

Pengantar

Tes model pilihan berganda (multiple choice) sampai saat ini masih dan terus digunakan secara meluas dalam evaluasi matematika. Sebagai contoh di Amerika, tes pilihan ganda ini masih mendominasi dalam sistem evaluasi matematika di negara itu (Garet & Mills: Dikutip Ellerton & Clements, 2000). Sementara itu berkaitan dengan sistem evaluasi pilihan ganda (Frary; Gays & Thomas; Hembree; Thongtawat: Dikutip Ellerton & Clements, 2000) mengatakan bahwa dari hasil riset diketemukan ada sejumlah siswa yang bisa menjawab dengan benar pada sistem evaluasi multiple choice namun kenyataannya dia “tidak menguasai” konsep matematika yang berhubungan dengan soal itu, bahkan ironisnya dia tidak paham terhadap soal yang ia jawab tersebut. Penelitian (research) lainnya dilakukan oleh Ellerton dan Clement – Mathematics Education Research Group of Australia (MERGA), Lismore — terhadap 115 siswa di Year 8 dengan menggunakan 16 soal diperoleh ada 7% siswa yang memilih jawaban dengan benar tapi tidak paham terhadap konsep matematika yang terkait dengan soal itu bahkan soal itu sendiri .
Masih terkait dengan permasalahan tersebut, Trihastuti (2002, h. 4) menegaskan bahwa penilain hasil belajar yang hanya menekankan pada hasil akhir belajar saja dianggap kurang memadai. Oleh karena perlu dilakukan langkah penyempurnaan terhadap sistem evaluasi yang ada (multiple choice), yaitu dicarikan alternatif evaluasi lain. Adapun sistem evaluasi yang lain ini diharapkan tidak untuk mengganti keberadaan multiple choise test tetapi diharapkan dapat melengkapi keberadaan sistem evaluasi yang telah ada dan mampu mengatasi kekurangan atau kelemahan yang selama ini terjadi. Salah satunya adalah dengan menggunakan sistem evaluasi portofolio (portfolio). Sistem evaluasi portofolio adalah penilaian lengkap yang memantau perkembangan siswa dari awal hingga akhir dalam upaya menguasai materi pembelajaran baik dalam proses (on going records process) maupun hasil akhir (output) belajar.

Portofolio


Portofolio berasal dari kata portare yang berarti tas, dan folio yang berarti kertas. Apabila dilihat asal katanya, portofolio dapat diartikan sebagai tempat atau map yang digunakan oleh siswa untuk menyimpan hasil kerjanya atau bukti-bukti yang merupakan hasil kerja siswa (Trihastuti, 2002, h. 1). Sementara menurut Mousley (2001):

“A portfolio typically contains a collection of a student’s work which provides a permanent and ongoing record of progress. In mathematics, as in other areas such as art, portfolios can be used to show-case students’ work. Therefore, students may have a large say in what is included in their portfolios. Often, portfolios contain additional comments by students about the pieces of work in the collection.”

Dari definisi yang telah dikemukakan oleh Mousley dapat ditarik kesimpulan, pertama, bahwa tujuan portofolio adalah untuk melihat kemajuan siswa (ongoing record of progress) selama proses mengikuti mata pelajaran tertentu. Kedua, portofolio digunakan untuk menunjukkan hasil kerja siswa dalam mata pelajaran itu. Disamping, portofolio bisa menumbuhkan refleksi diri siswa lewat memberikan komentar (additional comments) tambahan bahkan memunculkan pola pikir yang kreatif (lateral thinking) dalam tiap-tiap kerja yang dilakukannya.

Hal-hal yang perlu ada dalam portofolio


Menurut Robinson (2000) bahwa model portofolio pada dasarnya tidak memiliki struktur tertentu dalam penyusunannya. Portofolio hanya memberikan kesempatan pada siswa untuk berkreasi dalam mendesainnya yang ditujukan untuk memperlihatkan kemajuannya dalam mata pelajaran itu. Robinson (2000) menambahkan bahwa dalam setiap portofolio murid diminta melakukan setidaknya lima hal pokok (five entries), misalnya: menjawab 5 buah pertanyaan dari sebuah tugas portofolio yang diberikan atau melampirkan 5 buah hal atau bukti dari hasil praktek (experiment) yang dilakukan oleh siswa. Kelima buah pertanyaan atau kelima buah hal yang perlu dilaporkan dalam praktek tugas portofolio ini bisa dibuat oleh guru terlebih dulu dengan atau tanpa melibatkan muridnya.
Robinson (2000) menambahkan dalam portofolio dapat berisi:
a. Group project (proyek yang dikerjakan dalam kelompok)
b. Daily homework assignment (PR harian)
c. Tests (Hasil tes yang perlu dilampirkan)
d. Essay (Menulis essay yang terkait dengan mata pelajaran)
e. A mathematical autobiography (Biografi tokoh matematika yang terkait topik)
f. Class note (Catatan di kelas)
g. An assignment from a science class (Mengerjakan soal tes dari kelas IPA dari tinjauan matematika)
h. Quizzes (Teka-teki)
i. Problem solving (Materi-materi matematika untuk problem solving)
Robinson (2000) menambahkan bahwa satu hal yang sangat penting dalam portofolio adalah daftar isi (table of contents), dimana siswa menuliskan gambaran kemajuan yang telah diperolehnya pada setiap aktivitasnya. Disamping, siswa perlu menuliskan rangkuman (summary) yang berisi pemikirannya (thoughts) dan refleksinya (reflection) terhadap tugas portofolio tersebut.

Kelebihan menggunakan portofolio


Ada beberapa keuntungan yang bisa diberikan dari model evaluasi portfolio (Robinson, 2000):

  1. For teacher, porfolio assignment give an opportunity to stand back and look at the big picture of the progress that students has made in the course. (Untuk guru, evaluasi portofolio memberikan kesempatan untuk melihat kembali gambaran kemajuan yang telah dicapai muridnya secara keseluruhan).
  2. Porfolio challenges the teacher to give students opportunity to engage in a variety of tasks in addition to such traditional assessments. (Evaluasi portofolio memberikan tantangan pada guru untuk dapat memberikan variasi latihan atau soal atau penugasan praktek).
  3. For students, the goals include taking responsibility for learning, gaining self-confidence and communicating effectively. (Keuntungan yang diperoleh siswa, siswa memiliki rasa tanggung jawab dalam belajarnya baik secara pribadi maupun dalam kelompok kecilnya, diperolehnya rasa percaya diri, dan bisa mengkomunikasikan hasil belajarnya di depan kelas secara efektif).
  4. Overall, portofolios give the teacher concrete evidence of how students are progressing, but more important, they give students opportunity to assemble their own collection of work demonstrating their mathematical power and progress. (Secara keseluruhan, portofolio memberikan guru akan bukti yang nyata tentang kemajuan muridnya, tetapi lebih penting lagi, portofolio memberikan kesempatatan pada murid untuk menyusun koleksinya yang mencerminkan kehebatannya dan kemajuannya dalam matematika).

Langkah-langkah implementasi evaluasi portofolio


Berdasarka berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik beberapa langkah praktis dalam menerapkan evaluasi portofilio dalam pelajaran matematika.

1. Buat portfolio study guide (Buku Arahan Penugasan Portofolio)

Buku arahan penugasan portofolio ini dibuat oleh guru yang berisi tentang Teka-teki, soal-soal problem solving, proyek matematika, soal-soal matematika yang sulit, matematika di koran atau majalah, matematika dalam sains, matemati  dalam kehidupanseharai-hari dan lain sebagainya

2. Hand out (Lembar penugasan)

Hand out adalah berisi arahan mengerjakan portfolio yang didasarkan pada portfolio study guide. Dengan kata lain, portfolio study guide hanya merupakan kumpulan soal dan kumpulan aktivitas, sementara hand out inilah yang digunakan untuk memberi penjelasan pada siswa mana soal yang perlu dikerjakan dan mana aktivitas yang perlu dilakukan untuk portofolionya.

Hand out ini setidaknya berisi:
a. Ada berapa Bab yang harus dikerjakan atau dibuat.
b. Hal-hal apa yang harus disertakan atau dikerjakan di Bab 1, Bab 2 dan seterusnya.
c. Penjelasan tentang berapa persen portofolio ini akan mempengaruhi nilai akhir dalam pelajaran matematika.
d. Kapan tanggal akhir pengumpulan (Due date).
e. Menginformasikan tentang kerangka penilaian. Baik berupa observation assessment form (Penilaian observasi kelas) maupun marking scheme (kerangka penilaian secara detail), yaitu kriteria-kriteria mana yang menjadi penekanan penilaian portofolio.
f. Memberikan contoh Submission form (lembar penyerahan) yang perlu dibuat siswa. Submission form merupakan sampul (cover) untuk portofolio anak sekaligus tempat penilaian dan komentar guru (Teacher’s Comments) terhadap kualitas portofolio siswanya.

Kesimpulan


Evaluasi portofolio adalah sebuah bentuk evaluasi yang tidak hanya menekankan pada hasil belajar melainkan proses belajarnya. Portofolio diharapkan dapat sebagai alternatif evaluasi yang dapat mengatasi kelemahan sistem evaluasi multiple choice, disamping memberikan rasa tanggung jawab (take responsibility) dalam belajarnya pribadi maupun dalam belajar kelompoknya (cooperative learning group) dan diharapkan mampu meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) pada diri peserta melalui sejumlah presentasi portofolio yang dilakukan di kelasnya.

REFERENSI


Ellerton, N. & Clements, K., 2000, “Challenging the effectiveness of pencil-and-paper tests in mathematics”, dikutip di: Deakin University, Evaluation and Assessment in Mathematics and Science Education (Reader), Deakin University, Melbourne Australia.

Mousley, J., 2001, “Assessment of Problem Solving and Modelling”, Dikutip di: Deakin University, Problem Solving and Modelling (Study Guide), Melbourne.

Robinson, D., 2000, “Student Portfolios in Mathematics”, Dikutip di: Deakin University, Evaluation Assessment in Mathematics and Science Education (Reader), Deakin University, Melbourne.

Trihastuti, S., 2002, Portofolio, Balai Penataran Guru (BPG) Yogyakarta, Yogyakarta.


STAD SEBAGAI SALAH SATU BENTUK
COOPERATIVE LEARNING

H. Mutadi, S. Pd., M. Ed

Cooperative Learning

Cooperative learning adalah sebuah grup kecil yang bekerja bersama sebagai sebuah tim untuk memecahkan masalah (solve a problem), melengkapi latihan (complete a task), atau untuk mencapai tujuan tertentu (accomplish a common goal). Ada beberapa tehnik coperative learning yang berbeda, tetapi, kesemuanya memiliki ciri-ciri dasar yang sama. Salah satu ciri dasar yang dimaksud adalah bahwa ketika siswa melakukan pekerjaan dalam grupnya, mereka lakukan dengan saling bekerja sama (they work cooperatively).
Sedangkan ciri-ciri dasar yang lainnya adalah, pertama, setiap anggota dalam sebuah grup harus menerima bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim yang mempunyai tujuan tertentu. Kedua, setiap anggota dalam grup harus menyadari bahwa permasalahan yang mereka pecahkan adalah permasalahan grup. Sukses atau gagalnya sebuah grup (the success or failure of group) tersebut menjadi tanggungjawab setiap anggota. Ketiga, untuk menyelesaikan atau melengkapi tugas kelompoknya, setiap siswa harus berbicara satu dengan yang lain – terlibat aktif dalam mendiskusikan setiap permasalahan. Terakhir, yang perlu dijelaskan pada semua adalah, bahwa hasil pekerjaan setiap anggota memiliki andil yang besar dalam sukses atau tidaknya sebuah grup.
Bukanlah cooperative learning jika sekelompok siswa duduk bersama dalam sebuah grup dan memecahkan permasalahan secara individual. Bukanlah cooperative learning jika sekelompok siswa duduk bersama dalam sebuah grup dan membiarkan seorang anggota melakukan seluruh pekerjaan. Dengan demikian peranan seorang guru dalam cooperative learning sangat diperlukan untuk mendinamisasikan setiap grup dan mendorong murid untuk saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Keuntungan Cooperative Learning

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas Cooperative Learning diantaranya:
1. Mengurangi kecemasan (Reduction of Anxiety), seperti:

  • menghilangkan perasaan “terisolasi” dan panik.
  • menggantikan bentuk persaingan (competition) dengan saling kerja sama (cooperation)
  • melibatkan siswa untuk aktif di dalam proses belajar
  • menciptakan suasana kelas yang lebih rilek dan tidak terlalu resmi (more relaxed and informal classroom)
  • karena bekerja di dalam grup yang kecil hambatan rasa malu (barriers of shyness) dan rasa kurang percaya diri (lack of confidence) dapat dikurangi.

2. Belajar melalui komunikasi (Learning through communication), seperti:

  • mereka belajar dengan berbicara dan mendengarkan satu dengan yang lainnya.
  • mereka dapat berdiskusi (discuss), berdebat (debate), adu gagasan (wrestle with idea), konsep dan keahlian sampai benar-benar mamahaminya.
  • mereka memiliki rasa peduli (care), rasa tanggung jawab (take responsibility) terhadap teman lain dalam proses belajarnya
  • mereka dapat belajar menghargai (learn to appreciate) perbedaan etnik (ethnicity), perbedaan tingkat kemampuan (performance level), dan cacat fisik (disability)

3. Dengan cooperative learning memungkinkan siswa dapat belajar bersama, saling membantu, mengintegrasikan pengetahuan baru (new knowledge) dengan pengetahuan yang telah ia miliki (prior knowledge) dan menemukan pemahamannya sendiri lewat eksplorasi, diskusi, menjelaskan, mencari hubungan (relate), dan mempertanyakan gagasan-gagasan baru yang muncul dalam kelompoknya.

Students Team – Achievement Divisions (STAD)

Students Team – Achievement Divisions (STAD) dikembangkan oleh Robert E. Slavin dari Johns Hopkins University, berinduk pada kajian beberapa metode yang ia namakan Students Team Learning (STL) tahun 1980-an. STAD tersusun dari lima komponen utama: Persentasi kelas (class presentation), belajar dalam grup (teams), pengerjaan kuis (quizzes), perhitungan peningkatan skore individu (individual improvement scores), penghargaan tim (team recognition).

1. Presentasi kelas (Class presentation)
Bentuk presentasi kelas dapat berupa pengajaran langsung (direct instruction), kelas diskusi (a lecture-discussion) yang dikondisikan langsung oleh guru dan juga presentasi audio-visual. Presentasi kelas di STAD berbeda dari pengajaran biasanya. Siswa harus memberikan perhatian penuh selama presentasi kelas, sebab akan membantu mereka untuk menjawab kuis dengan baik nantinya, dan skor kuisnya akan menentukan skor timnya.
2. Grup atau tim (teams)
Setiap grup terdiri dari empat sampai lima anggota yang merepresentasikan perpaduan berbagi tingkat kemampuan akademik siswa (academic performances), jenis kelamin (sex), ras (race) ataupun etnik (ethnicity). Fungsi utama dari grup ini adalah untuk mempersiapkan setiap anggotanya agar dapat mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menyajikan materi, anggota grup bertemu dan mengerjakan lembar kerja (worksheets) atau materi yang lain. Yang sering terjadi, adalah berdiskusi untuk memecahkan permasalahan (discussing problem together), membandingkan jawaban (comparing answer), dan mengoreksi beberapa kesalahan konsep (misconceptions) jika anggota dalam grupnya melakukan pengerjaan yang salah.
Grup adalah hal yang teramat penting dalam STAD. Dalam banyak hal, penekanan diberikan pada setiap anggota grup (team members) untuk melakukan sesuatu yang terbaik buat grupnya. Sebaliknya, pentingnya peranan sebuah grup adalah melakukan hal yang terbaik dalam membantu meningkatkan kemampuan setiap anggotanya. Grup memberikan bantuan dari teman sebaya (peer support) untuk meningkatkan pemahaman atau kemampuan akademik (academic performance).
3. Kuis (Quizzes).
Setelah satu atau dua periode pengajaran (teacher presentation) dan satu atau dua periode grup melakukan praktek (atau diskusi memecahkan permasalahan), murid mengambil kuis pribadi (individual quizzes). Siswa “tidak diijinkan” untuk saling membantu selama mengerjakan kuis pribadi ini. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin agar setiap siswa memiliki tanggungjawab untuk benar-benar memahami materi pelajaran.
4. Peningkatan skor individual (Individual Improvement Scores)
Gagasan yang berada dibalik ide tentang “peningkatan skor individual” adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk mencapai tingkat kemampuan (performance goal) yang lebih tinggi dari yang telah dicapai sebelumnya. Beberapa siswa dapat menyumbangkan point maksimum (maximum points) pada grupnya dalam sistim penskoran STAD apabila mereka menunjukkan peningkatan yang berarti dibanding kemampuannya yang lalu. Setiap siswa diberikan “skor dasar” (base score) berdasarkan rata-rata skor kuis sebelumnya. Points yang bisa disumbangkan untuk grupnya didasarkan pada berapa besar skor kuisnya melampaui atau berada di bawah “skor dasar”-nya.
5. Penghargaan grup (team recognition)
Grup akan menerima penghargaan jika rata-rata skor mereka memenuhi atau melampaui kriteria tertentu.

Persiapan dalam STAD

Beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam STAD adalah:
1. Materi
Membuat lembar kerja dan lembar jawaban (a worksheet and a worksheet answer), dan kuis untuk setiap unit yang anda rencanakan untuk diajarkan.

2. Mengelompokkan murid dalam grup (Assigning students to teams)
Sebuah grup di dalam STAD adalah grup yang anggotanya terdiri dari empat atau lima orang siswa. Grup tersebut hendaknya merepresentasikan perpaduan berbagai tingkat kemampuan akademik, ras, etnik dan jenis kelamin. Setiap grup diharapkan terdiri dari murid yang berkemampuan tinggi (high performer), berkemampuan rendah (low performer), dan kelas berkemampuan menengah (two averages performers). Istilah “berkemampuan tinggi” adalah sesuatu yang sangat relatif, tentu saja hal ini dimaksudkan untuk siswa yang berkemampuan tinggi dalam kelasnya.

Dalam pembentukan grup sebaiknya dilakukan oleh guru dari pada dipilih oleh timnya sendiri. Sebab murid cenderung memilih temannya yang disukai. Dalam mengelompokkan siswa tersebut, ikutilah langkah-langkah berikut ini:

1. Meranking siswa
Rangkinglah siswa yang ada dalam kelasmu dari yang berkemampuan tertinggi sampai yang terendah. Gunakan apapun informasi yang kamu miliki untuk melakukan perankingan ini, skor hasil tes adalah yang terbaik. Namun hal itu perlu didukung oleh keputusan pribadimu. Tidak perlu perankingan yang paling sempurna tapi lakukan yang terbaik yang kamu bisa.
2. Memutuskan banyaknya grup (Decide on the number of teams).
Setiap grup harus memiliki empat anggota jika mungkin. Untuk memutuskan berapa grup yang akan kamu miliki, bagilah jumlah murid dalam kelas dengan empat, hasil pembagian tersebut merupakan jumlah grup yang harus kamu punyai. Sebagai contoh, jika ada 32 siswa dalam suatu kelas, kamu akan memiliki 8 grup dengan masing-masing empat anggota. Jika jumlah siswa bukan bilangan yang habis dibagi empat, sisanya mungkin akan satu, dua atau tiga. Selanjutnya kamu akan memiliki satu, dua atau tiga grup yang anggotanya terdiri dari lima orang. Sebagai contoh, apabila ada 30 siswa dalam kelasmu, kamu akan mempunyai tujuh grup, dimana lima grup akan memiliki empat anggota dan dua grup akan memiliki lima anggota.
3. Menempatkan siswa dalam kelompok (Assigning Students to Teams)
Ketika kamu melakukan pengelompokan, ciptakan sebuah kelompok yang seimbang (balance) yaitu (a) Setiap kelompok terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan dari tingkat terendah, menengah (average), dan tinggi, dan (b) rata-rata tingkat kemampuan dalam semua kelompok yang ada di kelas itu adalah “hampir sama”. Dalam mengelompokkan siswa, gunakan daftar peringkat kemampuan siswa. Berikan huruf tim pada setiap siswa. Sebagai contoh, jika suatu kelas ingin dibuat menjadi delapan kelompok gunakan huruf tim dari A sampai H. Mulailah dari bagian atas dari daftarmu denga huruf “A”, lanjutkan pemberian huruf sampai pada bagian tengah daftarmu. Ketika anda mendapati huruf terakhir dari huruf tim tersebut yaitu H, lanjutkan pemberian huruf tim dari arah yang berlawanan yaitu H, G, F, …. Ketika anda mendapati huruf tim “A”, berhentilah dan ulangi proses ini dari bawah ke atas (button up) atau mulai dari ranking yang terendah. Sekali lagi mulai dan berakhir dengan huruf “A”.

Misalkan dalam suatu kelas terdapat jumlah murid (17 atau 18) maka murid yang tidak terlabeli dengan huruf tim akan ditambahkan ke dalam kelompok tertentu dengan memperhatikan ras atau etnik (race or ethnicity) dan keseimbangan jenis kelamin (sex balance). Setelah anda selesai melabeli setiap siswa dengan huruf tim selanjutnya:
a. Ambil lembar daftar anggota kelompok. Tuliskan nama siswa dalam daftar anggota kelompok itu. Biarkan “nama timnya” tidak terisi.
b. Tuliskan skor dasarnya (base score). Skore dasar merepresentasikan skore rata-rata siswa setelah mengerjakan beberapa kuis sebelumnya. Jika anda memulai STAD setelah anda memberikan tiga atau lebih kuis, gunakan rata-rata skor kuis tersebut sebagai skor dasarnya. Jika tidak, gunakan hasil akhir dari kelas sebelumnya.

Peningkatan point (Improvement points)

Murid menyumbangkan point untuk timnya berdasarkan berapa banyak skor kuis mereka melampaui atau berada di bawah skor dasarnya. Kriterianya sebagai berikut:

Sebagai contoh, misalkan seorang siswa memiliki skor dasar = 83; skor kuis = 90; maka point peningkatannya = 20. Kemudian tuliskan point peningkatannya tersebut dalam Lembar Rekapitulasi Tim (Students’ Team Summary Sheets)

Kriteria penghargaan (Criteria for awards)

Ada tiga tingkat penghargaan yang dapat diberikan berdasarkan pada rata-rata skor yang dicapai oleh suatu tim, yaitu sebagai berikut:

Ketika anda pertama kali memberikan kuis pada siswa, anda perlu menjelaskan aturan peningkatan point (the improvement point system), dalam penjelasan anda, hal yang perlu ditekankan adalah sebagai berikut:

  1. Tujuan utama dari sistem peningkatan point adalah memberikan skor minimum untuk dilampaui. Skor minimum didasarkan pada kemampuan sebelumnya sehingga semua murid memiliki kesempatan yang sama (an equal chance) untuk sukses jika mereka melakukan yang terbaik dalam bidang akademiknya.
  2. Tujuan yang kedua dari sistem peningkatan point ini adalah untuk membuat murid menyadari bahwa skor setiap individu dalam timnya adalah penting — bahwa seluruh anggota dalam tim dapat menyumbangkan peningkatan point yang maksimum apabila mereka melakukan yang terbaik.
  3. Sistem peningkatan point adalah sesuatu yang adil (fair), sebab setiap siswa berkompetisi hanya dengan dirinya sendiri (competing only with himself or herself) untuk meningkatkan prestasinya.

Menghitung kembali skor dasar (Recomputing Base Scores)
dan Merubah anggota tim (Changing Teams)

Pada selang waktu tertentu (setelah lima atau enam minggu dari STAD ini) hitung kembali rata-rata skor kuis murid dan berikan skor dasar yang baru (student’s new base score) bagi murid tersebut. Susunlah murid dalam kelompok yang baru. Hal ini diharapkan dapat memberikan kesempatan baru pada siswa yang berada pada tim yang skornya rendah. Disamping, memberikan kesempatan pada siswa untuk bekerja dengan teman yang lainnya dan juga membuat program ini tetap segar (fresh).

Penilaian (Grading)

Ketika memberikan nilai pada murid (report card grades), nilai hendaknya didasarkan pada skor kuis siswa sebenarnya (students’ actual quiz scores), bukan pada peningkatan point mereka atau skor tim (kecuali jika anda mau menghadiahkan bonus lima point berdasarkan pada tim yang sukses tersebut di atas). Tetapi ini bukanlah ide yang baik memberikan penilaian berdasarkan kemampuan tim, sebagai anggota yang berkemampuan tinggi akan merasa bahwa ini adalah sesuatu yang tidak adil (unfair).

REFERENSI

Artzt, A. F. dan Newman, C. M.,1993, How to Use Cooperative Learning in the Mathematics Class, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), Virginia
Anania, L., 2000, Cooperative Problem Solving, MAV Conference, Melbourne.
Slavin,R. E., 1994, A Practical Guide to Cooperative Learning, Allyn and Bacon A Division of Paramount Publishing, Massachusetts.


MICROSOFT EXCEL DALAM PENGAJARAN MATEMATIKA
H. Mutadi, S. Pd., M. Ed

 

Pengantar


Beberapa tahun terakhir ini muncul pemikiran tentang keinginan bagaimana murid dapat memahami matematika dengan baik. Beberapa pendekatan yang berbeda (different approaches) telah dan sedang dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman anak. Salah satu pemikiran pendekatan tersebut adalah perlunya matematika diperkenalkan ke anak sebagai sesuatu yang relevan dengan kehidupannya (they perceive it as relevant). Konsep dan isi perlu disajikan ke dalam sesuatu yang memungkinkan murid memahami makna bahasa simbol matematika (Horne, 1994, p. 347).
Pengajaran tradisional matematika terlalu menekankan pada simbol semata (symbol manipulation) dan hanya memberikan sedikit arti pada anak. Sehingga matematika sering terlihat oleh anak sebagai cara berfikir yang formal dan abstrak (abstract-formal thinking) juga tidak relevan dengan objek kehidupan mereka. Beberapa guru dan ahli riset dalam pengajaran matematika setuju bahwa metode pengajaran matematika tradisional kurang efektif, dimana murid hanya  memiliki kemampuan untuk memanipulasi simbol-simbol belaka tapi kurang memahami makna dari simbol-simbol tersebut (Arnold 1992, p. 28). Akibatnya, sebagaimana dikatakan oleh Roblyer, Edwards dan Havriluk (1997, p. 58) bahwa beberapa guru mulai mengkritik dan berharap agar pengajaran matematika mampu melepaskan diri dari keterbatasannya, yaitu kurang menanamkan keahlian (isolated skills) pada anak dan hanya terjebak pada sistim menghafal rumus-rumus (memorize facts). Mereka berharap agar pengajaran matematika memiliki penekanan yang lebih pada kemampuan memecahkan masalah (problem solving), memperoleh informasi, dan berfikir kritis terhadap informasi yang telah diperolehnya tersebut. Dalam hal ini, Noris (dikutip dalam Roblyer, Edward dan Havriluk 1997, p. 86) berargumentasi bahwa pengajaran akan lebih efektif jika komputer mengambil alih sebagian peran guru (computer were to take over much of the traditional role of teacher). Secara khusus, Roblyer, Edward dan Havriluk (1997, p. 83) menyatakan bahwa spreadsheet (Cont: Microsoft Excel) dapat juga digunakan sebagai alat pengajaran alternatif matematika yang menguntungkan.

Kemungkinan penerapan

Dalam diskusi kemungkinan penerapan lembar kerja Excel dalam pelajaran matematika, ada dua hal penting yang perlu difikirkan. Pertama,  guru perlu memahami Spreadsheed Excel dan kemampuan yang dimilikinya. Kedua, menganalisa kurikulum matematika yang mungkin bisa dan lebih efektif apabila diajarkan dengan menggunakan kemampuan Spreadsheed Excel.

Gambaran umum Spreadsheet Excel

Sebagaimana Jones (1997, h. 485) menganalisa bahwa fungsi utama daripada Spreadsheet Excel adalah dapat digunakan untuk menyajikan data ke dalam bentuk tabel. Masih terkait dengan fungsi utama Spreadsheet Excel, Parker (1986, dikutip di Jones, 1997) menambahkan bahwa spreadsheet dapat digunakan untuk memasukan dan mengedit angka dan label; untuk memasukkan data dan merekam hasil suatu perhitungan tertentu. Sementara,  Roblyer, Edward dan Havriluk (1997, h. 139) menyatakan bahwa spreadsheet dapat digunakan untuk melakukan penjumlahan (adding), pengurangan (subtracting), perkalian (multiplying) dan pembagian (dividing). Spreadsheet juga dapat digunakan untuk memanipulasi data ke dalam cara yang sangat komplek melalui function commands-nya.

Adapun fungsi-fungsi yang dimiliki oleh Microsoft Excel diantaranya:

  1. Fungsi matematika seperti logaritma dan akar (Mathematical functions such as logarithms and roots)
  2. Fungsi Statistik seperti penjumlahan, rata-rata dan permutasi (Statistical functions such sum, average and permutation)
  3. Fungsi Trigonometri seperti sin dan tangen (Trigonometric functions such as sine and tangent)
  4. Fungsi Matriks seperti determinan matriks, invers matriks, hasil perkalian matriks (Matrix functions such as matrix determinant, inverse matrix, matrix product)
  5. Fungsi Logika seperti komparasi Boolean (Logical functions such as Boolean comparisons [if…then]), dan
  6. Fungsi keuangan seperti periode pembayaran dan suku bunga (Financial functions such as period payment and rates)

Excel juga memberikan fungsi khusus seperti lookup table, fungsi melukis grafik (graphing function) yaitu dengan cara mengaktifkan Chart Wizard Command-nya.1)

1) Sumber: http://wwwstaff.murdoch.edu.au/~kissane/Spreadsheets.htm

Di sisi lain, Vermay (1998, h. 501) telah menemukan spinner dalam Microsoft Excel yang dapat digunakan untuk merubah nilai dari cell tertentu yang ada dalam spreadsheet melalui “tombol yang sudah diprogram” (programmed button). Langkahnya adalah Klick View, Toolbar dan Forms dan diperoleh sebagai berikut:

Jika cell yang nilainya dapat diubah-ubah (changable cell) diasosiasikan dengan nilai suatu koefisien dari sebuah persamaan, dan asosiasi itu digunakan untuk memproduksi sejumlah data yang pada akhirnya dapat digunakan untuk membuat grafik, maka dengan scroll bar tool tersebut grafik yang tercipta dapat dianimasikan (Animated graphs). Dan ini tentunya akan menjadi sesuatu yang sangat menarik buat siswa dalam mengekplorisasi konsep matematika melalui model animasi excel.

Sebuah refleksi dalam kurikulum matematika

Dalam analisis ini saya akan coba ketengahkan sejumlah topik dalam pelajaran matematika dan temukan Excel commands yang sesuai untuk pengajaran tersebut.   Dan dari sejumlah topik tersebut akan saya pilih beberapa topik untuk disajikan sebagai contoh dalam pembelajaran matematika. Berikut adalah sejumlah topik dan Excel commands-nya:

  • Topik: Persamaan kuadrat, Fungsi kuadrat; Excel Commands yang dapat digunakan: Chart Wizard, dan (mendesain formula untuk memecahkan persamaan kuadrat)
  • Topik: Logika Matematika; Excel Commands yang dapat digunakan: True, False dan Or
  • Topik: Sistem persamaan Linier; Excel Commands yang dapat digunakan: Mdeterm, Minverse
  • Topik: Probabilitas; Excel Commands yang dapat digunakan: Rand, Int, Permut, Combin
  • Topik: Satistika; Excel Commands yang dapat digunakan:Chart Wizard, Average, Max, Median, ModePercentile, Quartile, StDev
  • Topik: Matriks; Excel Commands yang dapat digunakan: Mdeterm, Minverse, Mmult
  • Topik: Trigonometri; Excel Commands yang dapat digunakan: Pi, Degree, Radians, Sin, Cos, Tan
  • Topik: Fungsi logaritma; Excel Commands yang dapat digunakan:Log, Chart Wizard, Exp, dan (mendisain formula)
  • Topik: Lingkaran, Parabola, Ellips, Hiperbola; Excel Commands yang dapat digunakan: Chart Wizard, dan (mendesain formula)
  • Topik: Matriks Transformation; Excel Commands yang dapat digunakan: Chart Wizard, Mdeterm, Minverse, Mmult

Dari diskusi di atas saya akan memilih dua topik, yaitu matriks transformasi dan fungsi kuadrat. Tujuan utama mengetengahkan pengajaran matriks transformasi dengan menggunakan spreadsheet adalah untuk menemukan hubungan antara aljabar  dan geometri. Sebab pengajaran matriks transformasi — selama ini — cenderung hanya memanipulasi bilangan dan kehilangan makna. Dengan spreadsheet excel ini diharapkan guru dapat menciptakan laborat matematika (mathematics laboratory) dimana murid dapat melakukan eksplorasi (explore) dan menemukan (discover) konsep matematika2).


2) Sumber: http://www.feicht.com/lou/matst2.htm

 

Yang kedua, tujuan dari pengajaran topik fungsi kuadrat ini adalah bagaimana murid dapat dengan cepat mengenali karakteristik yang menarik dari sebuah grafik fungsi kuadrat (the interesting behaviour of quadratic function) dengan cara merubah-rubah nilai koefisien maupun konstantanya. Seperti, apa yang akan terjadi pada grafik fungsi y = ax2 + bx + c jika nilai koefisien ‘a’-nya bilangan positif sementara coefisien ‘b’-nya adalah bilangan negatif.

Disamping itu, murid dapat menghindari perhitungan yang monoton dan melelahkan dalam pelukisan grafik fungsi kuadrat. Mereka juga dapat menemukan kesan dan pemahaman tentang grafik yang lebih mendalam melalui alat animasi ini. Akhirnya, melalui aktivitas ini murid dapat memperkirakan seperti apakah grafiknya jika ia menemukan fungsi kuadrat tertentu.

Keuntungan dan kelemahan

Spreadsheet memberikan banyak kesempatan pada siswa untuk mengeksplorasi konsep dibandingkan dengan pengajaran matematika secara tradisional (Glaserfeld, 1995: di http://www.feicht.com/lou/matst2.htm). Disamping, dengan menggunakan spreadsheet, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong siswa melakukan transformasi mental terhadap konsep tertentu dan menggeneralisasikannya.

Sementara kelemahan yang dapat dijumpai diantaranya, pertama, spreadsheet tidak dapat secara langsung memanipulasi variabel-variabel aljabar ke dalam sebuah bentuk grafik, namun harus merubahnya ke dalam bentuk perhitungan angka terlebih dahulu. Sebagai contoh y = sin x, harus memasukkan nilai untuk x terlebih dahulu (gunakan perintah fill down) setelah itu ditemukan nilai y-nya (gunakan perintah fill down juga). Setelah nilai x dan y-nya ditemukan selanjutnya baru dipresentasikan dalam bentuk grafik.

Kesimpulan

Dari diskusi sebagaimana tersebut di atas,  dapat disimpulkan bahwa spreadsheet (microsoft excel) dapat digunakan sebagai alat yang potensial    dalam proses pembelajaran matematika. Excel memberikan makna yang luar biasa dalam membangun model matematika. Tetapi, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa keefektifkan dalam menggunakan spreadsheet juga tergantung dari keahlian (skills) dan daya imaginasi (imaginations) guru matematika itu sendiri.

REFERENSI

Arnold, S., 1992, ‘Algebra by Computer’, in The Australian Mathematics Teacher, Vol. 48 No. 4, 1992, pp. 28-32.

Creating a Mathematical Laboratory Using Spreadsheet to Investigate the Connection between Matrices and Geometric Transformation, http://www.feicht/lou/matst2.htm, accessed 14 August 2000.

Horne, M., 1994, ‘The Use of Spreadsheet as an Algebraic Environment’, in Mathematics Education Research Group of Australia, Lismore Australia, 17th Annual Conference 5-8 July 1994, pp. 347-354.

Jones, A. J., 1997, ‘Spreadsheet in Mathematics for CSF Levels 2, 3 and 4’, in D. Clarke et al. (eds.), Mathematics: Imagine the Possibilities, The Mathematical Association of Victoria, Thirthy-Fourth Annual Conference, December 4th & 5th 1997, pp. 483-486.

Roblyer, M. D., Edwards, J., and Havriluk, M. A, 1997, Integrating Educational Technology into Teaching, Prentice-Hall, Inc., New Jersey.

Spreadsheet and Mathematics Education, http://wwwstaff.murdoch.edu.au/~kissane/Spreadsheets.htm, accessed 4 August 2000.

Vermay, R., 1998, ‘Let Excel Bring Some Life to Your Functions’, in J.Gough & J. Mousley (eds.), Exploring all Angles, The Mathematical Association of Victoria, Thirty –fifth Annual Conference, December 3rd & 4th 1998, pp. 501-506.